Tuesday, April 3, 2012

KRITIK ATAS METODOLOGI HERMENEUTIKA AL-QUR’AN “MAZHAB YOGYA” DALAM STUDI AL-QUR’AN

Oleh: Asep Setiawan*



Dewasa ini, ada kecenderungan di kalangan para pemikir muslim kontemporer untuk menjadikan hermeneutika sebagai mitra[1], pendekatan[2] atau bahkan sebagai pengganti ilmu tafsir Al-Qur’an.[3] Kecenderungan ini, dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, seperti, Al-Qur’an dikatakan merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi[4] yang primitif dan patriarkis.[5] Ulumul Qur’an, dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi.[6] Metodologi tafsir ulama klasik, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan realitas.[7] Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki teori solid yang mempunyai prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi.[8] Paradigma tafsir klasik, dianggap memaksakan prinsip-prinsip universal Al-Qur’an  dalam konteks apapun ke dalam teks Al-Qur’an, akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan literalis.[9] Tafsir-tafsir klasik, dinilai tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam dan telah turut melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.[10] Dengan demikian,
menurut mereka, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an perlu dilakukan. Dan menurutnya, hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dan satu-satunya pilihan (the only alternative),[11] sebagai solusi untuk menjembatani ‘kebuntuan’ dan ‘krisis’ Ulumul Qur’an dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini.[12]
Gagasan perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini, begitu marak. Seruan itu serempak disuarakan oleh
para sarjana muslim kontemporer, baik di negara-negara Timur Tengah  maupun belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Sebagai contoh para tokoh Arab kontemporer yang getol menyuarakan gagasan ini antara lain; Fazlur Rahman, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Riffat Hasan, Amina Wadud dan para tokoh lain dengan konsep-konsep barunya yang cenderung kontroversial dan berbeda dengan konsep para ulama terdahulu. Adapun dalam konteks di Indonesia sendiri, metode hermeneutika ini telah ditetapkan sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadis dan disosialisasikan ke berbagai jurusan lainnya di beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perguruan Tinggi lainya. Bahkan bisa dikatakan, hermenutika ini telah menjadi mazhab kampus mereka, karena kuatnya pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini.[13] Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi, tesis atau desertasi dengan menggunakan metode hermeneutika.[14] Sebagai contoh, sebut saja di UIN Yogyakarta yang telah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (terbitan Islamika, Yogyakarta, 2003). Secara sepintas, dari judul tersebut dapat diketahui bahwa metode hermeneutika telah menjadi mazhab dalam studi Al-Qur’an di kampus tersebut.
Benarkah bahwa ilmu tafsir dan juga kitab-kitab tafsir klasik sudah tidak relevan lagi, sehingga perlu adanya hermeneutika sebagai manhaj tafsir alternatif? Sudah tepatkah langkah untuk menjadikan hermeneutika sebagai mazhab dalam studi Al-Qur’an, padahal terbukti bahwa para tokoh yang mengaplikasikan metode tersebut dalam penafsiran Al-Qur’an, telah memunculkan banyak kontroversi dalam dunia Islam? Sesuaikah hermeneutika diterapkan ke dalam studi Al-Qur’an dengan menempatkan Islam dalam konteks sejarah, sehingga banyak ajaran Islam yang dianggap out of date yang perlu di  update supaya bisa berubah dan sesuai dengan realitas zaman? Terkait dengan hal tersebut, maka tulisan yang ringkas dan sederhana ini, mencoba untuk mengeksplorasi sekaligus memberikan beberapa catatan atas metode hermeneutika yang berkembang di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan merujuk ke buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya.[15] Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini antara lain; pertama, tentang apa yang dimaksud dengan “Mazhab Yogya” dalam bidang hermeneutika dan apa dasar pemikiran atau asumsi filosofis yang melatarbelakanginya. Kedua, bagaimanakah metodologi hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” tersebut. Dan yang terakhir adalah apa implikasi yang ditimbulkan dari metode hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” tersebut jika diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an.

(to be continue.......)

4 comments:

  1. Subhanallah....memang betul apa yang disampaikan ustadz, tapi kenapa banyak yang gandrung dengan hermeneutik ya....

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya, mungkin mereka sudah terlanjur gandrung dengan segala yang baru dan yang Barat (everything new and everything Western. Ini semua, bisa dikatakan merupakan refleksi yang sangat nyata dari sebuah “krisis identitas” yang menghinggapi sejumlah pemikir Muslim. Bak istri Aladin yang menukar lampu lama yang kusam tertutup debu dengan lampu baru yang dijajakkan oleh si tukang sihir.

      Delete
  2. Terimakasih mas , buat tulisannya.. ditunggu kelanjutannya..tksh

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya sm2..ini baru latihan buat blog,..masih blm terlalu bisa..maksh ats kunjugannya

      Delete

Sobat,..lg belajar nulis,.mohon masukan dan komentarnya ya...makasih..