Oleh: Asep Setiawan*
Dewasa
ini, ada kecenderungan di kalangan para pemikir muslim kontemporer untuk
menjadikan hermeneutika sebagai mitra[1],
pendekatan[2]
atau bahkan sebagai pengganti ilmu tafsir Al-Qur’an.[3]
Kecenderungan ini, dilatarbelakangi oleh beberapa alasan, seperti, Al-Qur’an
dikatakan merupakan refleksi dari dan respon atas kondisi sosial, budaya,
ekonomi dan politik masyarakat Arab Jahiliyah abad ke-7 Masehi[4]
yang primitif dan patriarkis.[5]
Ulumul Qur’an, dianggap tidak punya variabel kontekstualisasi.[6]
Metodologi tafsir ulama klasik, diasumsikan terlalu memandang sebelah mata
terhadap kemampuan akal publik, terlalu memberhalakan teks dan mengabaikan
realitas.[7]
Tafsir klasik, dinilai tidak memiliki teori solid yang mempunyai
prinsip-prinsip yang teruji dan terseleksi.[8]
Paradigma tafsir klasik, dianggap memaksakan prinsip-prinsip universal
Al-Qur’an dalam konteks apapun ke dalam
teks Al-Qur’an, akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung tekstualis dan
literalis.[9]
Tafsir-tafsir klasik, dinilai tidak lagi memberi makna dan fungsi yang
jelas dalam kehidupan umat Islam dan telah turut melanggengkan status quo
dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.[10]
Dengan demikian,
menurut mereka, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an perlu dilakukan. Dan menurutnya, hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dan satu-satunya pilihan (the only alternative),[11] sebagai solusi untuk menjembatani ‘kebuntuan’ dan ‘krisis’ Ulumul Qur’an dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini.[12]
menurut mereka, dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran Al-Qur’an perlu dilakukan. Dan menurutnya, hermeneutika merupakan sebuah keniscayaan dan satu-satunya pilihan (the only alternative),[11] sebagai solusi untuk menjembatani ‘kebuntuan’ dan ‘krisis’ Ulumul Qur’an dan tafsir klasik yang sudah tidak relevan lagi dengan konteks dan semangat zaman sekarang ini.[12]
Gagasan
perlunya penerapan metode hermeneutika dalam studi Al-Qur’an ini, begitu marak.
Seruan itu serempak disuarakan oleh
para sarjana muslim kontemporer, baik di
negara-negara Timur Tengah maupun
belahan dunia Islam lainnya, termasuk juga di Indonesia. Sebagai contoh para
tokoh Arab kontemporer yang getol menyuarakan gagasan ini antara lain; Fazlur
Rahman, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali
Engineer, Riffat Hasan, Amina Wadud dan para tokoh lain dengan konsep-konsep barunya
yang cenderung kontroversial dan berbeda dengan konsep para ulama terdahulu.
Adapun dalam konteks di Indonesia sendiri, metode hermeneutika ini telah
ditetapkan sebagai mata kuliah wajib di jurusan Tafsir Hadis dan disosialisasikan
ke berbagai jurusan lainnya di beberapa Perguruan Tinggi Islam seperti
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung
Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Perguruan Tinggi lainya.
Bahkan bisa dikatakan, hermenutika ini telah menjadi mazhab kampus mereka,
karena kuatnya pengaruh petinggi kampus yang mempromosikan paham ini.[13]
Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi, tesis atau desertasi dengan
menggunakan metode hermeneutika.[14]
Sebagai contoh, sebut saja di UIN Yogyakarta yang telah menerbitkan sebuah buku
yang berjudul Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya (terbitan Islamika, Yogyakarta,
2003). Secara sepintas, dari judul tersebut dapat diketahui bahwa metode
hermeneutika telah menjadi mazhab dalam studi Al-Qur’an di kampus tersebut.
Benarkah
bahwa ilmu tafsir dan juga kitab-kitab tafsir klasik sudah tidak relevan lagi,
sehingga perlu adanya hermeneutika sebagai manhaj tafsir alternatif? Sudah
tepatkah langkah untuk menjadikan hermeneutika sebagai mazhab dalam studi
Al-Qur’an, padahal terbukti bahwa para tokoh yang mengaplikasikan metode
tersebut dalam penafsiran Al-Qur’an, telah memunculkan banyak kontroversi dalam
dunia Islam? Sesuaikah hermeneutika diterapkan ke dalam studi Al-Qur’an dengan
menempatkan Islam dalam konteks sejarah, sehingga banyak ajaran Islam yang
dianggap out of date yang perlu di update supaya bisa berubah dan sesuai
dengan realitas zaman? Terkait dengan hal tersebut, maka tulisan yang ringkas
dan sederhana ini, mencoba untuk mengeksplorasi sekaligus memberikan beberapa
catatan atas metode hermeneutika yang berkembang di UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta dengan merujuk ke buku Hermeneutika Al-Qur’an Mazhab Yogya.[15]
Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini antara lain; pertama,
tentang apa yang dimaksud dengan “Mazhab Yogya” dalam bidang hermeneutika dan
apa dasar pemikiran atau asumsi filosofis yang melatarbelakanginya. Kedua, bagaimanakah
metodologi hermeneutika Al-Qur’an “Mazhab Yogya” tersebut. Dan yang terakhir
adalah apa implikasi yang ditimbulkan dari metode hermeneutika Al-Qur’an
“Mazhab Yogya” tersebut jika diterapkan dalam penafsiran Al-Qur’an.
Subhanallah....memang betul apa yang disampaikan ustadz, tapi kenapa banyak yang gandrung dengan hermeneutik ya....
ReplyDeleteya, mungkin mereka sudah terlanjur gandrung dengan segala yang baru dan yang Barat (everything new and everything Western. Ini semua, bisa dikatakan merupakan refleksi yang sangat nyata dari sebuah “krisis identitas” yang menghinggapi sejumlah pemikir Muslim. Bak istri Aladin yang menukar lampu lama yang kusam tertutup debu dengan lampu baru yang dijajakkan oleh si tukang sihir.
DeleteTerimakasih mas , buat tulisannya.. ditunggu kelanjutannya..tksh
ReplyDeleteya sm2..ini baru latihan buat blog,..masih blm terlalu bisa..maksh ats kunjugannya
Delete