SELAKSA
HIKMAH DI PAGI ITU: “Masa Depan itu Kapan ya?”
Di suatu
pagi menjelang siang, aku keluar dari kamar asramaku dan menuju ke tempat parkir
untuk memanasi sepeda motor. Sembari menunggu, aku layangkan pandanganku ke
taman. Aku lihat di sana ada bapak tukang kebun sedang melamun dengan tatapan
mata yang kosong sambil memukul-mukulkan sabitnya ke rumput hijau di depannya. Sepontan,
hatiku pun terusik, ada keinginan untuk mencari tahu apa yang membuat bapak itu
melamun seolah-olah dunia ini sudah tidak punya harapan lagi untuk hidupannya. “Ada
apa gerangan dengan bapak, sepertinya bapak sangat sedih? Ada masalah apa pak?”
tanyaku dengan polos penuh perhatian. “Ade masih terlalu muda, belum tahu
masalah orang tua seperti saya”
jawab bapak tadi dengan lesu. “Bolehkah saya tahu pak?” jawabku sedikit memaksa.
“Baiklah nak, sekarang saya baru menyesali masa lalu saya, mengapa saya dulu
tidak berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk hidup saya saat ini”
tegas bapak tadi. Terbetik rasa untuk bercakap lebih lanjut, tapi, selain
merasa tidak enak untuk menyampaikan sedikit masukan, aku pun punya keperluan
sendiri untuk pergi ke salon untuk potong rambut. “Ya, mudah-mudahan semuanya
menjadi pelajaran pak” kataku sambil pamit.
Greng…greng…,
aku mulai tancap gas. Tak terasa, sekitar sepuluh menit, sudah sampai ke salon yang kutuju. Setelah
motor diparkir, aku tolehkan lirikkan mata ke jalan raya yang ramai dengan
hiru-pikuk kendaran bermotor dan lalu-lalang orang berjalan. Di saat sedang
asyik-asyiknya menikmati ‘indahnya’ semilir sepoy-sepoy udara kota yang
menyengat, pandanganku terhenti. Aku lihat ada seorang pemuda tukang parkir sedang
mondar-mandir tidak karuan. Lagi-lagi ada sedikit ‘kegalauan’ yang mengusik
jiwaku. Dengan langkah pelan-pelan, aku menghampiri anak muda yang seumuran
denganku itu. “Mas, ada apa dengan mas, koq saya lihat dari tadi bolak-balik
saja, sepertinya masnya sedang sangat galau?” tanyaku dengan nada memelas. “Gini
bos (sapaan akrab kepada orang yang baru dikenal), saya sedang gelisah
memikirkan masa depan saya nanti, sampai saat ini saya belum punya bekal
apa-apa bos” jawab pemuda tadi. Aku masukan tanganku ke saku, kugapai
berhala kecilku dan aku lihat jam sudah menunjukan jam 9.15., karena jam 10.30 mau ada acara, tanpa berpikir panjang,
keluarlah sepatah kata dari mulutku, “Nyantai ja bos, perjalanan hidup masih
panjang, sekarang tinggal bagaimana kita menatanya agar menjadi lebih baik lagi!”.
Aku lanjutkan ayunan langkahku menuju sebuah salon di tengah kota Ponorogo,
sambil pamitan dengan pemuda tadi.
Sekitar tiga-empat
langkah sampailah aku di depan pintu salon. Seorang bapak separuh baya
menyambutku dengan senyum ramah, “mau potong mas?” tanyanya. “Iya pak”,
jawabku. “Dari ISID ya mas?”, tambah bapak tadi. “Iya pak”, jawabku singkat. “Duduk dulu sebentar ya mas ini, ini masih satu orang lagi”,
tegas bapak tadi. “Iya pak”, jawabku sambil menyandarkan punggungku di atas
kursi kayu. Sembari menunggu, aku membaca sebuah buku baru tulisan bapak
dosenku yang baru launching bulan lalu. Misykat judulnya. Tak lama kemudian,
mata dan telingaku terusik oleh canda-tawa si bapak tukang cukur tadi yang
sedang bercengkrama dengan pelanggannya sambi menarikan jari-jemarinya dengan
lihai di atas sepetak padang rumbut hitam. Wajahnya tampak begitu cerah dan
senang, tak terlihat kesedihan atau kegalauan sebagaimana kedua insan yang ditemui sebelumnya. Kembali,
rasa penasaranku berkecamuk. “Bapak terlihat begitu gembira, padahal bapak
sedang bekerja keras, ada apa gerangan?” tanyaku penuh penasaran. “Mas, saya
tidak sedang bekerja keras, tapi hanya bekerja. Dan yang membuat saya gembira
adalah karena apa yang saya kerjakan sesuai dengan keinginan hati saya”,
sanggah bapak tadi dengan senyum.
“Sebelumnya saya ketemu sama bapak-bapak yang sedang
menyesali masa lalunya, dan seorang lagi, anak muda seumuran denganku yang lagi
mencemaskan masa depannya. Apakah bapak tidak punya masa lalu dan masa depan?”
lanjutku, curhat. Bapak tukang cukur tadi tertawa sejenak lalu menjawab sharingku,
“Mas, detik ini akan menjadi masa lalu bagi detik berikutnya, dan detik
berikutnya adalah masa depan detik ini. Maka jalanilah detik ini dengan
sebaik-baiknya, SAAT INI ADALAH ‘MASA DEP-AN’ KITA”.
No comments:
Post a Comment
Sobat,..lg belajar nulis,.mohon masukan dan komentarnya ya...makasih..